Kabupaten Bandung – Jumat (26/1), ‘Aisyiyah Boarding School Bandung menggelar talk show bertajuk Pola Pengasuhan Pesantren Khusus Putri di Laboratorium IPA. Kegiatan yang diikuti oleh guru dan pembina bertujuan sebagai bentuk peningkatan layanan pengasuhan kepada santriwati ‘ABS Bandung.
Wakil Mudir ‘ABS Bandung, Teguh Mulyadi, S.Sy. menjelaskan bahwa kini ‘ABS Bandung telah mengalami perkembangan. Namun, di balik perkembangan tersebut tak lepas dari berbagai dinamika dan tantangan yang menjadikan guru dan pembina terus berupaya untuk meningkatkan layanan terhadap santriwati.
“‘ABS Bandung kini sudah memasuki 10 tahun tetap teguh menjalankan amanat dari Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat dan terus berkembang, baik infrastuktur dan pembaharuan mengenai aturan, model, metode, dan kepengasuhan. Namun, pembaharuan tersebut tak lepas dari segala dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh Bapak dan Ibu ketika menjalankan tugas dan fungsi di pondok pesantren khusus putri. Maka, dengan adanya kegiatan ini dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangan dan dinamika yang ada serta pada akhirnya mampu meningkatkan layanan pesantren terhadap santriwati,” jelasnya saat menjadi moderator pada kegiatan tersebut.
Hadir sebagai narasumber Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat, Dra. Hj. Ia Kurniati, M.Pd. dan Dewan Penasihat ‘ABS Bandung, Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi.
Pada kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa ‘ABS Bandung sebagai pesantren khusus putri dengan dinamika dan tantangan yang ada harus mampu melahirkan lulusan yang mampu menjaga nilai-nilai pesantren ketika hidup di tengah masyarakat.
“Saya yakin pendidikan pesantren bukan hanya sekadar untuk mempersiapkan anak-anaknya baik, akhlaknya bagus, aqidahnya bagus hanya hari ini – ketika pesantren, tetapi yang lebih penting adalah ke depan, begitu lulus dari pesantren, bagaimana nilai-nilai pesantren tetap terjaga, bahkan mungkin bisa dikembangkan. Nah, itu satu tantangan, kebetulan ‘Aisyiyah Boarding School Bandung mengambil jalan single sex education. Tentu dinamikanya akan berbeda, ada plus ada minus, antara single sex education (-red sekolah satu jenis kelamin) dengan co-educational education (-red sekolah dua jenis kelamin) ,” ungkap Agus dihadapan para guru dan pembina.
Selain itu, Agus menjelaskan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki keunikan, baik secara fisik, aspek mental spiritual, dan perilaku sosial. Keunikan tersebut dipertegas dengan adanya sebuah teori kekhasan optimal (optimal distinctiveness theory), yakni di satu sisi orang mencoba menyeimbangkan keinginan untuk menjadi bagian dan berafiliasi dengan orang lain, tetapi di sisi lain ada keinginan untuk berbeda dan dibedakan dari yang lain.
“Kalau kita sama persis dalam banyak hal dengan orang lain, itu tidak menyenangkan. Di lain sisi ada kebutuhan ingin berbeda dengan yang lain. Dia mencari titik optimal, di mana saya berbeda, di mana saya sama dengan orang lain. Hal ini sangat penting apalagi kita sudah masuk ke aspek mental spiritual dan perilaku,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ia, yang juga turut menjadi narasumber menyampaikan kepada guru dan pembina untuk mampu memahami keunikan-keunikan (-red dinamika dan tantangan) santriwati.
Terakhir, Ia berpesan kepada guru dan pembina untuk menjadi orang tua yang senantiasa memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk santriwati.
Kegiatan yang digelar mulai pukul 08.00-11.00 WIB berlangsung secara interaktif dengan metode tanya jawab antara guru dan pembina dengan narasumber untuk meningkatkan layanan kepengasuhan santriwati.
Di balik dinamika dan tantangan dalam kepengasuhan pesantren khusus putri, single sex education memiliki keunggulan utama, yakni lingkungan yang lebih terfokus dan terstruktur. Santriwati lebih mudah berinteraksi dengan guru dan teman sekelasnya tanpa adanya tekanan dari jenis kelamin. Hal ini dapat membantu meningkatkan konsentrasi santriwati dalam belajar. Selain itu, sekolah juga dapat membantu meminimalisir terjadinya gangguan emosional yang biasanya terjadi di antara santriwati yang sejenis kelaminnya.